GAGAKRIMANGFM.ID - Sedulur Sikep dari berbagai daerah mengadakan kirab cemani dan pertunjukan wayang kulit dalam memperingati bulan Suro bertempat di Pendopo Pengayoman di Dukuh Plosokediren, Randublatung, Blora, Rabu (2/7) malam .
Pukul 20.00, sedulur sikep sudah berkumpul di lokasi. Memakai pakaian khas Samin, berwarna hitam-hitam. Mereka kemudian menyalakan obor.
Berjalan beriringan tanpa alas kaki. Menuju punden Samin Surosentiko, sebenarnya juga dikenal dengan Samin Surondiko.
Dalam iring-iringan itulah ayam cemani warna hitam turut dibawa dalam rombongan. Dengan ditaruh pada wadah seperti rumah sederhana, yang dirakit dari bambu dengan diberi cungkup/atap dari janur.
Ayam cemani yang sudah berada dalam wadah itu dikirab dengan cara dipikul oleh empat orang sedulur sikep.
Pada bagian depan iring-iringan terdapat seorang penari perempuan. Semacam membuka jalan. Kemudian diikuti deretan perempuan memakai pakaian putih sambil seolah-olah membopong anak.
Sampai di punden, mereka mengitari punden. Kemudian rombongan perempuan mengelilingi pohon yang dianggap sebagai perwujudan punden.
Setelah itu, ada penyampaian dari Gunretno terkait pemaknaan kirab cemani. Ritual di punden itu ditutup dengan pelepasan ayam cemani di sekitar lokasi.
Acara kemudian berlanjut. Mereka kembali ke pendopo pengayoman. Sesampainya di Pendopo Pengayoman, sedulur sikep menggelar brokohan.
Sebelum asyik menonton wayang bersama. Dengan dalang Ki Sigid Ariyanto dengan lakon Wahyu Sri Cemani.
Gunretno menjelaskan kirab cemani itu akan dipatenkan. Untuk dilaksanakan setiap tahun saat peringatan suro.
Ayam cemani warna hitam itu merupakan gambaran pakaian Mbah Samin dan anak cucunya yang dikenal satu warna. Perlambang kesederhanaan, keabadian, dan kelanggengan.
"Kirab cemani kami lakukan dua kali ini. Yang pertama tahun lalu. Ini akan kami patenkan tiap suro. Namun waktunya, menyesuaikan. Karena saat Suro sedulur sikap pada laku. Sehingga kami berembuk, longgarnya kapan, nah baru ditentukan dan dilakukan di punden Mbah Samin Surondiko sini," paparnya.
Dari segala hal yang dilakukan itu, mulai dari brokohan, kirab cemani, bedah bakale bocah, menurutnya upaya untuk melestarikan laku dan nilai. Mengajarkan anak cucu sedulur sikep tentang laku hidup.
"Ini proses tentang kehidupan. Orang harus tau kita ini ada dari mana dan akan ke mana. Kita harus menghormati bumi yang kita pijak ini. Sing diisingi, diuyohi, nanging maringi panguripan," paparnya.
Dalam acara itu juga ditunjukkan para tokoh sedulur sikep yang pada masa kolonial diasingkan. Beberapa tokoh itu ditunjukkan dalam foto yang sudah difigura.
"Ini bentuk pengnghormatan perjuangan Mbah yang diasingkan pemerintah kolonial Belanda. Ada foto-fotonya. Mereka para pejuang, pahlawan. Maka ini harus diceritakan ke anak cucu maka ini harus kita pasang foto-foto yang diasingkan.
"Sebenarnya ada 9 orang. Tapi kami tadi baru sampaikan cuma 6. Di antaranya Mbah Samin Surondiko, kartogolo, Sani dan beberapa lainnya," katanya.
Bupati Blora Arief Rohman yang hadir di acara tersebut mengapresiasi apa yang dilakukan sedulur sikep. Lantaran kegiatan itu bagian untuk menguri-uri kebudayaan.
"Saya atas nama pemkab Blora apresiasi upaya menguri uri kebudayaan yang dilakukan masyarakat dan mas Gunretno. Semua Guyun rukun," tuturnya.
Menurutnya acara rutin tahunan yang dilakukan setiap suro itu juga memberikan inspirasi dan semangat bagi masyarakat Blora juga sekitarnya. Khusus bagi sedulur sikep.
"Kami terus mendukung upaya pelestarian kebudayaan," tambahnya.
Komentar0